Waktu baca ± 1 menit
Terlalu sering meminum antibiotik, bakteri jahat dalam tubuh bisa jadi kebal dan sulit dibunuh menggunakan antibiotik.
Berdasarkan data dari World Health Organization/ Badan Kesehatan Dunia (WHO), selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global. Di negara berkembang sendiri, meningkat hingga 165%.
Salah satunya dipicu oleh banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai menjadi salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan.
Resistensi antimikroba ini adalah keadaan saat bakteri, virus, atau jamur tidak lagi merespons obat-obatan yang dirancang untuk membunuh mikroba-mikroba tersebut. Jadi bakteri jahat dalam tubuh agak kebal dan tidak dapat dibunuh secara optimal menggunakan antibiotik.
“Peningkatan tajam penggunaan antibiotik ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik,” ujar Prof. dr. Agus Suwandono, Koordinator INDOHUN pada konferensi virtual Tuntas Beri Tuntas Pakai, 5 November 2021.
Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan. Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengatakan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar US $ 10.400 atau sekitar Rp149 juta.
Sedangkan bagi pasien yang resistan nilainya bertambah sebanyak 6.000 Dollar AS atau sekitar Rp86 juta, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.
Untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) tentang implementasi PPRA di rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, meningkatkan kesembuhan pasien, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
“Tim dari PGA ini membantu pelayanan kesehatan dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian,” jelas dr. Harry Paraton pada kesempatan yang sama.
Antibiotik selama ini dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit, hal itu salah kaprah. Antibiotik tak boleh diminum sembarangan dan harus mengikuti resep dokter.
“Masyarakat seringkali membeli antibiotik sebagai pertolongan pertama pada penyakit ringan dan obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep,” ujar Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada pada kesempatan yang sama.
Untuk mengendalikan laju resistensi antibiotik, edukasi terhadap masyarakat tentang antibiotik harus digalakan. Toko-toko obat dan apotek juga harus bijak dalam menjual antibiotik.
Sumber: Dream