Waktu baca ± 4 menit
Penyakit akibat stres yang tergolong ringan dapat berupa sakit kepala tegang atau flu. Jika berkepanjangan, stres dapat menyebabkan kedatangan penyakit serius mulai dari maag kronis, diabetes, penyakit jantung hingga depresi.
Sebenarnya, stres tak selamanya berdampak negatif. Dalam bentuk lain yang dinamakan dengan eustress, stres justru membawa pengaruh baik bagi kesehatan mental. Memicu seseorang untuk lebih termotivasi dan semangat dalam menjalani hidup.
Sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih berteman akrab dengan distress. Stres jenis inilah yang membawa dampak negatif baik bagi kesehatan mental maupun kesehatan tubuh secara keseluruhan. Bila tidak segera ditangani, kondisi ini dapat memicu datangnya berbagai jenis penyakit seperti berikut ini.
Sakit kepala menjadi penyakit akibat stres yang hampir pasti menghinggapi penderitanya. Tegangnya otot juga saraf di kepala akibat stres, dapat menimbulkan sakit kepala tegang, migrain hingga kesemutan di satu atau kedua sisi kepala. Durasinya dapat berlangsung singkat bahkan bertahan lama, bergantung tingkat stres yang dialami.
Keterkaitan antara stres dan menurunnya imunitas tubuh telah banyak dibuktikan para ahli. Kadar hormon kortisol yang melonjak tajam ketika stres mampu melemahkan respon imun terhadap berbagai ancaman, termasuk virus flu. Akibatnya seseorang yang stres lebih mudah terinfeksi flu. Bahkan dapat bertambah parah dan sulit pergi, jika stres yang dialami tak kunjung diatasi.
Sindrom kelelahan kronis (chronic fatigue syndrom, CFS) merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan timbulnya gejala berupa kelemahan dan rasa kantuk terus menerus yang tak kunjung pergi meski telah banyak beristirahat. Meski hingga saat ini para peneliti belum menemukan penyebab utama dari kondisi ini, namun stres diduga kuat memainkan peran besar didalamnya. Curigai apabila mengalami kelelahan yang tak hilang meski telah berbulan-bulan lamanya.
Stres membuat otak dipenuhi dengan beban pikiran juga emosi, akibatnya dapat memicu timbulnya gangguan tidur seperti insomnia. Jika dibiarkan berlarut-larut, penyakit akibat stres satu ini dapat berimplikasi pada tekanan darah hingga dapat memperpendek usia.
Hingga saat ini, stres menjadi alasan kuat yang memengaruhi tingkat kesuburan baik pria maupun wanita. Betapa tidak, stres dapat menyebabkan ejakulasi dini pada pria dan terganggunya siklus menstruasi pada wanita. Meningkatkan resiko terjadinya kemandulan hingga memicu keretakan rumah tangga.
Sikap tubuh yang salah ketika beraktivitas umumnya menjadi penyebab utama terjadinya sakit punggung. Kendati demikian, bila sakit punggung yang dialami terus menetap tak kunjung sembuh, bisa jadi tekanan emosional atau stres-lah penyebabnya.
Stres dapat memicu ketegangan fisik yang menyakitkan dan sering terjadi di jaringan lunak leher, bahu, punggung hingga bokong. Untuk itu, bila pengobatan sakit punggung kerap tidak membuahkan hasil positif, cobalah untuk memperhatikan kondisi mental dan emosional diri.
Malas berolahraga bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan seseorang terjebak dalam obesitas. Ada alasan lain dibalik kondisi ini, yakni stres! Peningkatan hormon kortisol ketika stres mampu meningkatkan nafsu makan dan memicu keinginan mengonsumsi makanan manis juga berlemak. Tubuh pun akan menyimpan lebih banyak lemak, terutama di daerah perut.
Perhatikanlah bagaimana fluktuasi emosional acap kali merangsang timbulnya reaksi di perut. Jangan heran, karena lambung dan usus memiliki saraf yang terhubung langsung ke otak. Itulah mengapa ketika stres, tak jarang disertai dengan kedatangan masalah kesehatan pada sistem pencernaan. Stres dapat menyebabkan maag, GERD hingga sindrom iritasi usus atau irritable bowel syndrome (IBS).
Stres dapat menyebabkan diabetes melalui dua cara. Pertama, mengubah pola makan menjadi buruk. Kedua, membuat pankreas menjadi kesulitan dalam mensekresikan hormon insulin sebagai pengendali gula darah.
Banyak jalan bagi stres untuk memancing kedatangan si pembunuh nomor wahid di dunia ini. Stres secara langsung dapat meningkatkan denyut jantung dan pelepasan kolesterol serta trigliserida ke dalam aliran darah. Stres juga mampu memengaruhi tekanan darah, menyebabkan terjadinya hipertensi yang dapat berakhir pada serangan jantung atau stroke.
Faktor risiko besar terjadinya penyakit alzheimer dan demensia tak hanya datang dari usia, faktor stres pun dapat menjadi dalang dibalik kondisi ini. Betapa tidak, stres terkait erat dengan terganggunya fungsi otak. Ketika stres dibiarkan begitu saja/berkepanjangan, maka lambat laun, kadar kortisol dalam darah yang terus meninggi akan menyebabkan kerusakan pada hipokampus, bagian dari otak besar yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan memori dan banyak fungsi lainnya.
Stres menyebabkan reaksi kimiawi di tubuh yang membuat kulit lebih sensitif dan reaktif. Hal ini juga dapat membuat penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya menjadi lebih sulit untuk sembuh.
Pernahkah Anda memperhatikan bahwa wajah mengeluarkan lebih banyak minyak saat stres? Hal ini karena stres menyebabkan tubuh membuat hormon seperti kortisol, yang memberitahu kelenjar di kulit untuk membuat lebih banyak minyak. Kulit berminyak lebih rentan terhadap jerawat dan masalah kulit lainnya.
Lebih lanjut, stress dapat memperparah penyakit psoriasis, rosacea, dan eksim pada kulit, terutama eksim kering atau neurodermatitis.
Seakan tak cukup untuk terus memperburuk kondisi kesehatan, stres kronis mampu menempatkan penderitanya berada dalam depresi. Pada tahap ini, seseorang cenderung terlibat dalam perilaku agresif atau berisiko. Misalnya pelampiasan pada obat-obatan terlarang, menyakiti diri sendiri atau orang lain hingga tak jarang dapat melakukan percobaan pembunuhan.
Melihat berbagai penyakit akibat stres di atas, tak mengherankan apabila stres memiliki keterkaitan erat dengan kematian dini. Memang kita tak dapat menampik kedatangan stres juga masalah dalam hidup. Namun jangan lantas kondisi ini justru menggerus kita dalam keterpurukan.
Hadapi dan kelola lah stres sebaik mungkin. Orientasikan pikiran pada penyelesaian bukan dengan menghindari masalah yang dihadapi. Bila merasa tidak mampu menghadapinya sendiri, bicarakan dengan orang terdekat atau berkonsultasilah dengan psikiater atau psikolog.
Sumber: Honest Doc