Waktu baca ± 2 menit
Proses pemanasan minyak goreng secara berulang menyebabkan terjadinya polimerisasi, di mana molekul asam lemak saling berikatan membentuk rantai panjang. Hal ini membuat minyak menjadi kental dan berwarna gelap. Fenomena ini sering dianggap sebagai tanda "kematangan" minyak untuk menghasilkan gorengan renyah, padahal justru mengundang risiko kesehatan serius [8].
Minyak yang mengalami polimerisasi akan membentuk senyawa karsinogenik seperti akrilamida, terutama saat digunakan untuk menggoreng bahan bertepung pada suhu tinggi. Senyawa ini terkait dengan peningkatan risiko kanker dan kerusakan organ [8].
Fitosterol—senyawa mirip kolesterol yang ditemukan dalam minyak nabati—memiliki struktur kimia unik yang memungkinkannya bersaing dengan kolesterol dalam penyerapan usus. Contohnya, minyak jagung mengandung fitosterol seperti pistosterol yang terbukti menurunkan LDL hingga 17% [3][7].
Mekanisme ini dimanfaatkan dalam terapi nutrisi, di mana konsumsi minyak kaya fitosterol (seperti minyak zaitun atau canola) membantu "membersihkan" kolesterol dari aliran darah [7][9].
Jenis Minyak | Keunggulan | Sumber |
---|---|---|
Minyak Zaitun (Extra Virgin) | Tinggi antioksidan, menstabilkan HDL dan LDL | [3][7] |
Minyak Canola | Rendah lemak jenuh, kaya omega-3 | [7][9] |
Minyak Jagung | Mengandung pistosterol penurun LDL | [3][7] |
Catatan: Hindari deep frying dan gunakan minyak maksimal 2-3 kali pemakaian untuk mencegah oksidasi.
Kerenyahan gorengan sering kali dibayar dengan kesehatan jangka panjang. Pemilihan minyak berkualitas tinggi dan pemahaman proses kimia di balik penggorengan menjadi kunci pencegahan risiko. Sebagai alternatif, metode memasak seperti memanggang atau mengukus bisa mengurangi ketergantungan pada minyak.