Waktu baca ± 6 menit
Gambar: Ilustrasi Monosodium Glutamat (MSG)
Stigma negatif terhadap MSG (Monosodium Glutamat), atau yang sering disebut "micin" di Indonesia, telah lama beredar di masyarakat. Label "tanpa MSG" bahkan pernah dianggap penting, mirip dengan label halal, yang menunjukkan kekhawatiran yang signifikan terhadap bahan tambahan makanan ini.[8] Namun, apakah MSG benar-benar berbahaya? Apakah MSG benar-benar menyebabkan masalah kesehatan atau penurunan kecerdasan? Artikel ini akan mengupas tuntas fakta ilmiah di balik kontroversi dan stigma seputar MSG.
MSG adalah senyawa penyedap rasa yang terdiri dari garam natrium dan asam glutamat. Asam glutamat adalah asam amino non-esensial, yang berarti tubuh manusia dapat memproduksinya sendiri. Asam glutamat juga secara alami terdapat dalam berbagai makanan, seperti tomat, keju parmesan, jamur, rumput laut, dan bahkan ASI (Air Susu Ibu).[9] MSG dikenal karena kemampuannya untuk meningkatkan rasa umami, yang sering dideskripsikan sebagai rasa gurih, lezat, atau seperti kaldu daging, yang memberikan sensasi kepuasan di lidah.[10]
MSG ditemukan pada tahun 1908 oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor kimia di Universitas Tokyo Imperial (sekarang Universitas Tokyo) di Jepang.[3] Ikeda terinspirasi oleh rasa gurih yang khas dari kaldu rumput laut kombu (dashi) yang sering digunakan dalam masakan Jepang, termasuk yang dibuat oleh istrinya. Ia bertekad untuk mengidentifikasi senyawa yang bertanggung jawab atas rasa umami tersebut.
Melalui penelitian yang cermat, Ikeda berhasil mengisolasi asam glutamat sebagai senyawa utama yang memberikan rasa umami pada rumput laut kombu. Untuk membuat rasa umami lebih mudah diaplikasikan dalam masakan, Ikeda mengembangkan metode untuk menstabilkan asam glutamat dengan natrium. Proses ini menghasilkan monosodium glutamat (MSG) dalam bentuk kristal yang mudah larut.[11]
Pada tahun 1909, perusahaan Jepang Ajinomoto ("essence of taste") memulai produksi komersial MSG.[12] Awalnya, MSG dipasarkan sebagai bumbu premium untuk kalangan atas di Jepang. Namun, popularitasnya dengan cepat menyebar ke restoran dan rumah tangga di seluruh dunia, terutama dalam masakan Asia.
Meskipun awalnya diterima dengan baik, kontroversi seputar MSG mulai muncul pada tahun 1968. Dr. Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada jurnal medis terkemuka, New England Journal of Medicine, yang menggambarkan gejala-gejala yang dialaminya setelah makan di restoran Cina di Amerika Serikat.[13] Gejala-gejala tersebut meliputi rasa kebas di bagian belakang leher, lemas, dan jantung berdebar. Dr. Kwok berspekulasi bahwa gejala-gejala ini mungkin disebabkan oleh MSG, kecap, atau anggur masak yang digunakan dalam masakan Cina.
Surat Dr. Kwok memicu istilah "Sindrom Restoran Cina" (Chinese Restaurant Syndrome - CRS). CRS kemudian didefinisikan secara luas sebagai kumpulan gejala seperti sakit kepala, pusing, jantung berdebar, berkeringat, dan rasa kebas yang dikaitkan dengan konsumsi makanan Cina yang seringkali mengandung MSG.
Istilah "Sindrom Restoran Cina" dengan cepat menyebar luas melalui media massa dan memicu stigma negatif terhadap MSG dan masakan Asia.[4] Kekhawatiran publik meningkat, dan banyak orang mulai menghindari makanan Cina dan produk yang mengandung MSG. Restoran-restoran Asia di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya merespons dengan memasang label "tanpa MSG" untuk menarik kembali pelanggan. Namun, perlu dicatat bahwa penelitian-penelitian awal yang mendukung keberadaan CRS seringkali dikritik karena kelemahan metodologis, bias budaya, dan kurangnya kontrol ilmiah yang ketat.[14]
Seiring waktu, berbagai penelitian ilmiah yang lebih komprehensif dan metodologis telah dilakukan untuk mengevaluasi keamanan MSG. Hasil dari penelitian-penelitian ini secara konsisten menunjukkan bahwa MSG aman dikonsumsi dalam jumlah wajar yang biasa digunakan dalam makanan.[1][2] Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah mengklasifikasikan MSG sebagai "Generally Recognized as Safe" (GRAS)[15], yang berarti aman untuk dikonsumsi berdasarkan bukti ilmiah yang ada.
Studi-studi tentang metabolisme glutamat menunjukkan bahwa glutamat dari MSG tidak secara signifikan meningkatkan kadar glutamat dalam otak.[6] Hal ini karena sebagian besar glutamat yang dikonsumsi dari makanan, termasuk MSG, dimetabolisme di usus dan hanya sebagian kecil yang melewati sawar darah-otak (blood-brain barrier).[7] Sawar darah-otak adalah lapisan pelindung yang membatasi masuknya zat-zat tertentu dari darah ke otak. Dengan demikian, MSG dalam konsumsi normal tidak memiliki efek neurotoksik (meracuni saraf) atau mengganggu fungsi otak seperti yang sering dikhawatirkan.
Stigma negatif terhadap MSG tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya dan sentimen rasial. Istilah "Sindrom Restoran Cina" itu sendiri dianggap bermuatan rasial dan mencerminkan prasangka terhadap masakan dan budaya Asia, khususnya Cina.[5][16] Mitos tentang bahaya MSG sering kali dikaitkan dengan xenofobia, yaitu ketakutan atau kebencian terhadap hal-hal yang dianggap asing.
Pada periode ketika stigma MSG menguat, sentimen anti-Asia juga meningkat di beberapa negara Barat. Hal ini memperburuk citra buruk MSG karena asosiasinya yang kuat dengan masakan Asia.[17] Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, isu MSG kembali mencuat di Amerika Serikat seiring dengan meningkatnya sentimen nasionalis dan proteksionis. Stigma MSG yang "jahat" digunakan sebagai bagian dari retorika yang mencurigai produk asing, khususnya yang berasal dari Cina.[18] Ini menunjukkan bahwa stigma MSG tidak hanya didasarkan pada bukti ilmiah, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, dan politik.
Meskipun stigma negatif masih ada di sebagian masyarakat, terutama di kalangan yang kurang terinformasi, banyak koki, ilmuwan pangan, dan profesional kesehatan kini semakin menerima MSG sebagai penyedap rasa yang aman dan efektif.[19] MSG diakui dapat meningkatkan rasa umami dan memperkaya cita rasa masakan jika digunakan dengan tepat.
Gerakan untuk mengedukasi publik tentang fakta ilmiah seputar MSG juga terus berkembang. Tujuannya adalah untuk menghilangkan miskonsepsi dan stigma yang tidak berdasar. Selain itu, dalam konteks kesehatan, MSG bahkan memiliki potensi manfaat dalam mengurangi asupan garam (natrium klorida).[20] MSG mengandung natrium dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan garam dapur, namun tetap memberikan rasa gurih yang kuat. Dengan menggunakan MSG sebagai pengganti sebagian garam dapur, kita dapat mengurangi asupan natrium secara keseluruhan tanpa mengorbankan cita rasa makanan.
MSG memiliki sejarah yang kompleks, melibatkan penemuan ilmiah yang signifikan, kesalahpahaman budaya yang meluas, dan perdebatan yang berkepanjangan. Namun, berdasarkan konsensus ilmiah saat ini, MSG aman dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan yang seimbang.[1][2][15] Stigma negatif yang melekat pada MSG lebih banyak didasarkan pada mitos, bias budaya[4][5], dan sentimen sosial daripada bukti ilmiah yang kuat. Sebagai konsumen yang cerdas, penting untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan menghindari prasangka yang tidak berdasar. MSG, jika digunakan dengan bijak, dapat menjadi bahan tambahan makanan yang bermanfaat untuk meningkatkan cita rasa makanan dan bahkan mendukung pola makan yang lebih sehat.[20]