Wanita usia 20-50 tahun, yang sering disebut sebagai masa reproduksi, tampaknya lebih rentan terhadap penyakit autoimun karena perubahan hormonal, terutama estrogen, yang dapat meningkatkan respons sistem kekebalan. Penelitian menunjukkan bahwa estrogen dapat memperkuat aktivitas kekebalan, yang mungkin memicu serangan pada jaringan tubuh sendiri [1]. Selain itu, faktor genetik, seperti adanya dua kromosom X pada wanita, juga berkontribusi pada risiko ini.
Selama siklus menstruasi, banyak wanita melaporkan gejala yang memburuk, kemungkinan karena fluktuasi hormon [5]. Kehamilan juga dapat memengaruhi penyakit autoimun, dengan beberapa kondisi membaik sementara yang lain memburuk, membutuhkan perawatan khusus untuk mencegah komplikasi seperti keguguran [6].
Pengobatan seperti imunosupresan dan steroid sering digunakan untuk mengendalikan penyakit, tetapi dapat menyebabkan efek samping seperti risiko infeksi dan masalah gastrointestinal [7]. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa mikrobioma usus, yang dipengaruhi oleh diet, berperan dalam perkembangan penyakit autoimun, dengan ketidakseimbangan (dysbiosis) terkait kondisi seperti arthritis reumatoid dan multiple sclerosis [8]. Diet sehat, seperti diet Mediterania, mungkin membantu mengelola kondisi ini dengan mendukung mikrobioma usus yang sehat.
Sebuah detail yang mungkin tidak terduga adalah hubungan antara mikrobioma usus dan penyakit autoimun, di mana perubahan bakteri tertentu, seperti penurunan Bacteroides pada arthritis reumatoid, dapat memengaruhi risiko penyakit [9].
Penyakit autoimun adalah kelompok gangguan di mana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan berbagai gejala seperti lupus, arthritis reumatoid, dan multiple sclerosis. Penelitian menunjukkan bahwa antara 24 hingga 50 juta orang Amerika menderita penyakit autoimun, dengan wanita menyumbang sekitar 80% kasus, menyoroti bias gender yang signifikan [2]. Prevalensi ini lebih menonjol pada wanita usia 20-50 tahun, yang merupakan masa reproduksi, kemungkinan besar karena perubahan hormonal dan faktor genetik.
Faktor genetik termasuk adanya dua kromosom X pada wanita, yang membawa banyak gen terkait sistem kekebalan. Kromosom X ini dapat meningkatkan respons kekebalan, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit autoimun, seperti dijelaskan dalam studi yang menyoroti perbedaan biologis antara pria dan wanita [3].
Hormon, khususnya estrogen, memainkan peran penting dalam meningkatkan risiko penyakit autoimun pada wanita. Estrogen dapat memengaruhi sistem kekebalan dengan cara yang kompleks, sering kali meningkatkan respons kekebalan humoral, yang dapat memicu serangan autoimun. Studi menunjukkan bahwa kadar estrogen yang tinggi dapat merangsang aktivitas sel T dan B, yang berkontribusi pada perkembangan penyakit seperti lupus dan arthritis reumatoid [1]. Efek ini terutama terlihat selama masa reproduksi, menjelaskan mengapa kelompok usia 20-50 tahun lebih rentan.
Siklus menstruasi sering kali memengaruhi gejala penyakit autoimun, dengan banyak wanita melaporkan peningkatan gejala, seperti kelelahan dan nyeri, terutama seminggu sebelum atau selama menstruasi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh fluktuasi hormon, terutama estrogen dan progesteron, yang memengaruhi respons kekebalan. Penelitian menunjukkan bahwa flare-up sering terjadi pada fase folikular, mendukung kebutuhan untuk memantau aktivitas penyakit selama fase rentan ini [5].
Kehamilan dapat memiliki efek bervariasi pada penyakit autoimun. Beberapa kondisi, seperti arthritis reumatoid, mungkin membaik selama kehamilan, sementara yang lain, seperti lupus, dapat memburuk, terutama pasca-persalinan. Wanita dengan penyakit autoimun membutuhkan perawatan khusus untuk mengelola risiko komplikasi, seperti keguguran atau kelahiran prematur. Studi menunjukkan bahwa pencapaian remisi setidaknya enam bulan sebelum kehamilan dapat meningkatkan hasil, dengan penyesuaian obat seperti penggunaan antikoagulan untuk sindrom antiphospholipid [6].
Pengobatan utama untuk penyakit autoimun melibatkan imunosupresan, yang menekan sistem kekebalan untuk mengurangi serangan autoimun, dan steroid, yang memiliki efek anti-inflamasi. Meskipun efektif, keduanya memiliki efek samping signifikan, termasuk risiko infeksi, kenaikan berat badan, dan masalah gastrointestinal seperti ulkus atau diare [7]. Transkrip menyebutkan bahwa kombinasi ini dapat "double merusak kondisi usus," yang sejalan dengan laporan tentang gangguan mikrobioma usus dan peradangan.
Bukti menunjukkan hubungan erat antara mikrobioma usus dan penyakit autoimun. Dysbiosis, atau ketidakseimbangan mikrobioma, terkait dengan kondisi seperti arthritis reumatoid, dengan penurunan bakteri menguntungkan seperti Bacteroides dan peningkatan bakteri patogen seperti Prevotella [9]. Pada multiple sclerosis, ditemukan penurunan diversitas mikrobial dan perubahan spesies bakteri tertentu [10]. Diet memainkan peran penting, dengan diet kaya serat dan makanan fermentasi, seperti diet Mediterania, yang dapat mendukung mikrobioma usus sehat dan memiliki efek anti-inflamasi [11].
Penyakit Autoimun | Perubahan Mikrobioma Usus | Referensi |
---|---|---|
Arthritis Reumatoid | Penurunan Bacteroides, Peningkatan Prevotella | [9] |
Multiple Sclerosis | Penurunan diversitas mikrobial | [10] |
Lupus Eritematosus Sistemik | Rasio Firmicutes/Bacteroidetes lebih rendah | [8] |
Penyakit autoimun pada wanita usia 20-50 tahun dipengaruhi oleh kombinasi faktor hormonal, genetik, dan lingkungan, dengan estrogen dan mikrobioma usus memainkan peran sentral. Pengelolaan yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam tentang interaksi ini, termasuk perawatan khusus selama menstruasi dan kehamilan, serta pendekatan diet untuk mendukung kesehatan usus.